“Iya, Nes… nanti saya
akan ganti. Maaf, Nes.” Ku hanya mampu berkata. Namun, aku pun bingung
bagaimana cara untuk menggantikannya. Matahari yang menyengat di siang itu tak
membuatku merasakan teriknya. Langkahku yang tak pasti dan fikiran yang entah
dimana menemani dalam perjalanan menuju rumah. Sesampai di rumah, ku melihat
adik bungsuku yang sedang belajar di ruang tamu. “Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam… mb
Shinta, udah pulang.” Aku mencium adik tersayang yang sedang belajar matematika.
“Mas Arif mana, dek?”
tanya ku tentang adik laki-lakiku.
“Mas Arif belum pulang,
kak.” ku melihat sekeliling rumah. “Ayah sudah berangkat ke masjid mb. Barusan
saja.” Ku lihat jam ditangan tepat pukul 15.05 WIB.
“Ibu sedang istirahat
ya, dek.” Adik kecilku hanya menggangguk. Sudah beberapa hari ini kesehatan ibu
semakin memburuk. Ku berjalan menuju kamar ibunda tersayang. Ibu yang berbaring
di rancang membuatku tak mampu menceritakan masalah yang ku hadapi saat ini.
Kumandang adzan terdengar dari masjid dekat rumah. “Sarah sudah mandi? Kalau
belum mandi dulu, nanti kita salat ashar berjamaah ya.” ajak ku.
***
Dalam gelap malam, ku
tak mampu berkonsentrasi untuk belajar dalam menghadapi ujian nasional beberapa
minggu yang akan datang. Ku kembali terdiam, ku ambil hp yang ada disampingku.
“Assalamu’alaikum. Mb, maaf mengganggu sedang sibuk?”
“Wa’alaikumussalam. gak Shin, ada apa?”
“mb, saya gak mampu sendiri menghadapi hal ini.
bagaimana saya bisa memberitahukan dan meminta kepada kedua orang tua saya.
Sedang, sekarang ibu berbaring sakit. Dan ayah…” ku tak mampu menahan air
mataku yang kini telah pecah. Aku tahu betul dengan siapa ia akan bercerita
tetang masalah yang aku hadapi. “mb, dari mana saya mendapatkan uang untuk
mengganti laptop yang saya hilangkan atas keteledoran saya ini. mb…”
“Shin, jangan kamu
putus asa. Berapa yang kamu butuhkan?”
“sekitar 4 juta, mb.
Untuk mengganti laptopnya. Saya tahu ini keteledoran saya. Tapi, saya juga
tidak mau menambah beban kedua orang tua saya.”
“untuk sekarang, mb nda
ada uang sebanyak itu. Nanti, mb bantu cari.”
“nda apa-apa mb, saya
cerita ke mb bukan untuk meminta bantuan. Saya hanya butuh tempat berbagi.
Dengan itu saya bisa lebih nyaman. Makasih mb, maaf mengganggu.
Wassalamu’alaikum” jawaban terdengar dari seberang telpon.
“mb… mb… mb…” panggil
Sarah. ku berdiri dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamarnya.
“ada apa, dek.” Dengan
kepanikan, ku mengikuti langkah Sarah yang menuju kamar ibu. “ada apa, Yah.”
Semua sudah berkumpul di kamar Ibu, ku lihat Ayah hanya terdiam. Terlihat wajah
yang telah menua penuh cemas disamping tubuh ibu. Arif, adikku telah hadir di
kamar.
“Ibu… ada apa?” ku
lihat wajah yang menua melihatku dengan penuh kasih sayang. Tak mampu ku
melihatnya, namun harus. Karena Ibu melihatku dengan jelas. Ku lihat Ayah,
Sarah dan Arif yang juga sudah berada disampingku. Namun, tiba-tiba napas ibu
tersengal tak mampu ku melihatnya dengan rasa sakit yang ia rasakan. Ku tahu
betul apa yang terjadi. ku bisikkan di telinganya dengan syahadat. Dan ibu
mengikuti walau sulit, kemudian……
“ibu… jangan tinggal
Sarah. Sarah gak mau ditinggal ibu.
Sarah sayang ibu.”
“Ibu, jangan pergi
sekarang. Arif belum jadi anak yang membanggakan ibu. Arif janji gak akan membantah lagi sama ibu.” Semua
menangis, ku lihat Ayah berdiri dari duduk simpuhnya dan keluar dari kamar ini.
Kamar yang memberikan kesedihan yang mendalam. Ku tahu saat ini akan hadir,
namun kenapa saat ini Ya Rabb. Saat aku masih membutuhkannya, juga kenapa
Engkau memberikan masalah yang bertubi-tubi padaku. Aku tak mampu berada di
kamar ini. ku keluar dan ku lihat Ayah yang sedang duduk berdiam.
Bagaimana
aku mampu mengurusi anak-anakku, sedang aku sudah menua dan hanya sebagai guru
mengaji di masjid. Fikirku, mencoba menganalisa apa yang
difikirkan Ayah saat ini. “Ayah…” ku memeluk Ayah. Pelukan tangannya yang erat
tak mampu menyembunyikan kesedihan yang mendalam dirinya. Ia mencoba
menguatkanku dengan pelukan ini.
“kuatkan dirimu, Shin.
Ayah masih ada disampingmu.” Ucap Ayah. Ku melepas pelukan dan ku lihat
dimatanya ada air mata yang menggenang. Aku berdiri dan kembali ke kamar Ibu.
Sedang Ayah pergi mencari bantuan untuk mengurusi beberapa hal.
Beberapa menit kemudian
tetangga hadir ke rumah. Ibu Ani yang merupakan sahabat ibu memeluk Sarah yang
masih menangis. Arif, lebih tenang walau masih terlihat air matanya. Sedang aku
mencoba lebih tegar, ku coba menahan air mata ini. Pagi hari ibu dimakamkan,
kami mengantar di tempat terakhir peristirahatan Ibu. Sesampai di rumah dari
tempat pemakapan. Beberapa teman kelas, rohis sudah berada di rumah. Juga mb
Ayu yang tadi malam saja aku cerita.
Mereka memberikan
pelukan dan semangat untukku. Terakhir ku dengan mb Ayu, sejak tadi ku coba
untuk tidak menangis. Namun, “mb Ayu…” dalam pelukannya aku kembali menangis,
entah apa yang terjadi. “mb, apa yang harus saya lakukan saat ini. apa yang
mampu ku lakukan.” Mb Ayu membelai rambutku yang tertutup dengan jilbab.
“dek, kamu pasti mampu.
Allah tidak akan memberi cobaan lebih dari batas kemampuan hambanya. Jadi, kamu
pasti mampu mengatasi cobaan ini. berusahalah, kami semua ada bersamamu dan
Allah akan membantu hambanya.” Ku mecoba melepaskan pelukan itu dan menghapus
air mata yang berada dipipinya.
***
Aslkm.shin,sy tunggu akhir bln ni.sy hrp s’cptny.mksh. sms
dari teman yang ku hilangkan laptopnya.
Ya
Allah, bagaimana aku mampu mendapatkan uang dalam waktu 2 minggu.
Ucapku dalam hati ini. ku baringkan tubuh yang mulai lelah. Tepat disampingku
terlihat sebuah novel yang kudapatkan dari Mb Ayu pagi, sampul dengan 5 gedung
tinggi. Ku mulai membukanya, namun suara adzan isya berkumandang. Ku bangkit
dari tidur ku dengan kembali menutup kembali novel yang telah ku pegang. Ku
mengadu pada Allah tentang semua yang kuhadapi saat ini. Dua minggu yang akan
datang ku akan menjalani ujian, dan sebuah tanggung jawab harus ku bayar.
Sedang aku tak mampu membertahukan semua kepada Ayah.
Dalam malam yang sunyi
dengan terang lampu yang sedikit redup, serta suara jangkrik dari luar
menemaniku untuk membaca novel. Ku menangis dan semangatku membara dengan
cerita yang ada di novel itu. Sebuah mantra yang ada membuatku semakin yakin
mampu ku jalani semuanya. Allah tak akan memberikan sebuah cobaan lebih dari
batas kemampuan umat-Nya. Dan kesungguhan akan mengalahkan dari segalanya,
kecuali kuasa Allah.
***
“Assalamu’alaikum….mb
Ayu, makasih ya atas bukunya. Insya Allah saya akan lebih bersemangat lagi.”
“Wa’alaikumussalam.”
Senyum mb Ayu menjawabnya. “bagaimana tentang laptopnya, Shin. Masih butuh
uang? Sekarang mb…”
“gak usah mb, saya akan coba cari uang sendiri. Kemarin sudah mulai
jadi guru privat. Terus saya juga mulai berjualan di rumah, ditambah Arif dan
Sarah ikut membantu. Walau pun apa yang mereka dapatkan untuk sekolah mereka.
Tapi, saya yakin Allah akan membantu saya. Untuk saat ini saya masih belum
memerlukannya mb. Makasih, ketika saya butuh pertolongan mb. Saya akan bilang.
Terima kasih mb, untuk semuanya.” Ucap Shinta panjang lebar. Dia bangkit dari
tempat duduknya dan menuju ke lokasi privatnya.
Ketika semua orang
masih terlelap tidur, ku bangun yang kadang ditemani Sarah adik kecilku.
Menyiapkan bahan gorengan yang akan di bawa Arif dan Saraf. Ku tak mampu
meminta ke Ayah, sudah cukup beliau sedih. Ku tahu sejak sakit beberapa tahun
yang lalu membuatnya tak mampu bekerja berat. Ayah kini hanya sebagai guru
mengaji di masjid dekat rumah. Jika dibilang penghasilan tak ada sedikit pun.
Ayah hanya bekerja sukarela, kecuali ada orang tua yang memberikan lewat Sarah.
Cukup sebagai tambahan sekolah Sarah.
***
“Eny, makasih sudah
jadi temen curhatku.”
“kamu pasti mampu. Aku
yakin kamu mampu.”
“tapi, semua tinggal 3
hari lagi dan dari semua hasil usahaku mulai dari dagang, privat, hingga
bekerja di rumah makan tempat Ibu Sri dan beberapa yang lain pun belum cukup. untuk
mengganti laptop Nesya tak cukup. apalagi harus bersiap untuk masuk kuliah.”
“Shin, semua Allah yang
akan membantu. Lagian, semua bukan salah kamu juga tentang masalah laptop. Kamu
meminjamnya bukan untuk kamu, tapi untuk agenda kita waktu itu. Jadi…”
“tapi, tetap aku yang
menghilangkannya atas keteledoran aku.” Aku kembali diam dan menunduk.
“mungkin, aku tak akan bisa melanjutkan kuliah. Uang yang di tabunganku yang
telah ku kumpulkan selama 10 hari ini hanya 3 juta, itu pun ditambah tabunganku
dari SMP untuk biaya kuliahku.” Aku menangis, kuliah yang kudambakan. Untuk
mngejar mimpiku dan harapan kedua orang tuaku. Aku tak mampu mendapatkannya.
“Shin, jangan pernah
berputus asa. Allah selalu bersama kita. Masih ingat kalimat yang kamu katakan
setelah beberapa hari Ibu mu meninggal. Kamu tiba-tiba datang padaku, dan
mengatakan aku akan bersungguh-sungguh untuk meraih mimpiku dan bertanggung
jawab dengan segalanya. Karena kamu yakin ketika kita bersungguh-sungguh semua
yang kita inginkan akan kita raih.” Aku masih berfikir, sungguh aku tak mampu
harus melupakan mimpiku untuk tetap kuliah. Namun, sebuah tanggung jawab harus
tetap dilaksanakan. “Man jadda wajada,
ingat itu. Shin. Aku ingin kamu bersemangat, semua akan membantu kamu. Insya
Allah. Bagaimana?”
Aku bangkit, aku
mengangkat wajahku. “ya.. aku mampu, masih ada banyak waktu. Ujian dan sebuah
tanggung jawab akan ku jalani. 3 hari??? Cukup. aku yakin.” Ku tahu, 3 hari
lagi. Aku harus mengganti laptop Nesya dan 3 hari lagi, ujian nasional. Dan
beberapa hari ini aku melupakan untuk belajar.
***
Malam yang dingin
menemaniku, tepat pukul 00.05 wib. Dan aku masih sibuk dengan buku-buku
pelajaran kelas 2 SMA. Mata ini pun sudah tak mampu membuka kelopaknya. Ku tutup
buku dan ku baringkan tubuhku di kasur lembut. Lusa, ujian dan tegang waktu
untuk mengganti laptop Nesya. Alhamdulillah, semuanya cukup. esok akan ku
belikan laptopnya. Dan ku terbenam dalam tidurku.
Sinar matahari telah
hadir menemani mempersiapkan gorengan, walau mata ini masih ingin memecamkan
mata. Hanya mampu tidur 2 jam saja, karena aku harus kembali mempersiapkan gorengan
ini. “dek, kamu anter ke warung Bu Ani ya… Sarah, bawanya hari ini gak usah banyak-banyak. Ok.” Ucapku
memberitahukan. “oh ya, Ayah udah pulang. Rif?” Arif menggeleng sambil
membereskan dagangannya. “Ayah kemana ya?”
“ehm…Ayah ke rumah
Pakde Salim, mb. Terus menginap, gak tahu
kapan pulang. Tapi, kata Ayah malam tadi pulang. Mungkin, menginap di rumah
Pakde Salim. Mb.” Aku hanya mengangguk saja tentang penjelasan Arif. Sedikit
hadir kekhawatiranku ke Ayah. “mb, Arif berangkat. Assalmu’alaikum, mb… dek ayo…” ajak Arif.
“Assalamu’alaikum….
Shinta….” Salam itu hadir dari pintu depan, ku berjalan ke depan, ternyata Ibu
Ani tentang kami. Jawab salamnya dengan cepat ku lakukan. “Shinta, Arif dan
Sarah sudah pergi?” aku hanya mengangguk saja. “begini, Ibu mau kasih kabar. Tadi
malam Ayah mu kecelakaan di Tegineneng. Sekarang sudah ada di rumah sakit.” Aku
terdiam tak mampu menjawab, ada apa lagi ini Ya Allah. Mengapa Engkau uji aku
dengan segala ini. sungguh, aku masih belum mampu. Aku menangis, ibu Ani
memelukku.
Ibu,
aku ingin tak mau menangis kembali. tapi, aku tak sanggup dengan semua ini.
“bagaimana keadaan Ayah?” ibu Ani hanya menggeleng.
***
“Ayah, besok Shinta
akan ujian. Mohon do’anya ya. Ayah gak usah
mikiran biaya perawatan di sini. Insya Allah, Shinta ada. Ya yah…”
“maafkan Ayah, Shin.
Ayah bukan Ayah yang baik, sekarang kamu menjadi tulang punggung keluarga.”
“ayah, Shinta senang
menjalaninya. Ayah gak usah merasa
bersalah. Shinta yakin, Allah akan membantu Shinta, Arif, Sarah dan juga Ayah
dalam menjalani ini.”
“bagaimana dengan
laptop yang harus kamu gantikan, Shin?” aku tersentak kaget, bagaimana Ayah
tahu tentang masalah ini.
“Ayah, tahu dari mana?”
“Ayah tahu dari
sikapmu, nak. Kemudian terdengar perbincanganmu di telpon di malam meninggal
ibu. Namun, Ayah mencoba menutupinya.” Aku masih terdiam. “bagaimana dengan
kuliahmu? Kamu ingin kuliah kan… Ayah juga ingin kamu kuliah, biar mampu
menjadi contoh buat adik-adikmu. Tapi, bagaimana sekarang….”
“Ayah, semua bisa
teratasi. Shinta, bisa kuliah di tahun depan. Sekarang, Shinta fokus ke ujian
dan kesembuhan Ayah. Untuk laptop itu…” aku terdiam, jujur memang sulit
untukku. Uang yang sudah siap untuk membelikan harus berkurang untuk biaya Ayah
di rumah sakit. Sudahlah, aku yakin pasti ada jalan keluar. “Ayah, gak usah mikirin masalah ini. Shinta
bisa mengatasinya. Shinta yakin Allah akan memberikan jalan keluar dari apa
yang kita harapkan.
***
“Alhamdulillah… oh ya,
Shin. Anak-anak Rohis mau ketemu sama kamu. Bentar aja.” Eny mengajak.
“ada apa, En? Aku harus
ke rumah sakit dan ajar privat hari ini. Tenggang waktu ku sudah habis.”
“aku tahu, ayo bentar
saja.”
Masjid sudah terisi
teman-teman seperjuanganku di Rohis, pasti ku rindukan ketika sudah lulus
nanti. Ku lihat sosok yang sangat dekat denganku mb Ayu. “Shin…” mb Ayu
mendekat kepadaku. “ini…” Mb Ayu memberikan amplop kepadaku.
“apa mb?” ku buka, uang
sebesar 2juta. “mb…”
“ini semua tanggung
jawab kita, Shin. Laptop itu bukan hanya tanggung jawab kamu, tapi tanggung
jawab kita semua. Jangan menolaknya…” aku terdiam, ku menangis. Tak sanggup
bagiku menahan tangis bersama saudari-saudariku seperjuangan di sekolah.
“Shin, dipanggil Bu
Arum.” Ucap Alin yang baru hadir. “di tunggu bu Arum di ruangannya.” Aku masih
bingung ada apa lagi, ada yang ingin ditanyakan kepada aku.
“sudah sana, hapus air
matamu.” Ucap mb Ayu. Aku beranjak dari dudukku dan menuju ruang bu Arum.
“Assalamu’alaikum, bu…
ada apa?”
“Wa’alaikumussalam… duduk.
Begini, Shin. Kemarin, saya mencari kamu kemana-mana. Tapi, selalu tidak
bertemu. Dan akhirnya saya memutuskan untuk…” hatiku berdegup dengan kencang,
ada apa. Ujian baru hari ini. tapi apa yang terjadi, apa arah pembicaraan ini,
aku kembali mendengarkan. “untuk menjadikan kamu kandidat beasiswa. Dan
Alhamdulillah hari ini kita dapat jawabannya. Dan kamu mendapatkannya, beasiswa
ini khusus. Semua biaya daftar ulang bebas. Kamu hanya harus lulus ujian
nasional dan mengusus administrasi surat-suratnya saja.” Aku seperti tak
percaya, bu Arum memberikan kabar yang sebelumnya tak pernah terduga.
“Alhamdulillah.” Aku
berdiri dan langsung sujud syukur kepada Allah. Ya Allah sungguh Maha Besar Engkau Ya Rabb. Kejutan-Mu sangatlah indah.
Ku kembali berdiri, “terima kasih, bu… terima kasih banyak.”
***
Dalam perjalanan menuju
rumah aku masih tak percaya dengan semua ini, tambahan uang untuk mengganti
laptop Nesya. Dan kabar yang tak pernah aku bayangkan beasiswa, mimpiku akan
terwujud. Kuliah. Benar Allah lah yang mengatur semuanya. Dengan segala
rintangan yang ku alami, namun ketika kita bersungguh-sungguh dalam menjalaninya
kesuksesan akan kita raih. Man jadda
wajada. Allah selalu punya rahasia yang tak mampu kita duga. Terima kasih
Ya Allah, terima kasih atas semuanya.
***
Tuliskan dan ucapkan
mimpi, tanggung jawab dan harapan kita…
Man
jadda wajada…
Pintu akan terbuka
untuk kita raih…
Walau masih ada teras
yang berduri…
Man
shabara zhafira…
Di malam yang sunyi…
Natar. Senin, 23 Mei 2011
21.23 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar